Madu adalah makanan yang sarat dengan protein dan bernilai gizi tinggi yang dihasilkan oleh lebah. Nah, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti para pemburu lebah hutan, yang didaerah sunda dikenal dengan nama Tawon Odeng, atau dalam bahasa ilmiahnya disebut Apis dorsata serta di Jawa dikenal dengan sebutan Tawon Gung.
Tawon odeng atau Giant honey bee ini hidup di hutan atau di tebing – tebing yang tinggi. Beruntung oleh seorang teman, saya dikenalkan pada ‘buncis’ dan anwar. Kakak beradik pemburu madu odeng. Jadilah suatu hari saya ikut mereka untuk mencari madu odeng.
Kami harus menempuh perjalanan yang cukup seru menembus kampung – kampung kecil di daerah Sukabumi. Tujuan kami adalah hutan di wilayah desa Ciwangi, Pabuaran. Dengan naik motor saya di bonceng oleh Buncis. Cukup lihai si Buncis mengendarai motornya melewati jalan – jalan sempit dan berbatu. Menembus beberapa kampung kecil di lereng sebuah bukit, sebelum akhirnya membawa saya mendekati tepi hutan.
Kami pun menitipkan motor di halaman rumah salah seorang warga yang tinggal di tepi hutan, karena perjalanan berikutnya sudah tidak bisa lagi ditempuh menggunakan kendaraan roda dua. Saya cukup terkesan dengan kondisi sosial tersebut, begitu mudahnya si buncis memarkir kendaraannya di rumah orang yang belum dia kenal, dan si empunya rumah juga begitu ramah menyambut kami bak kawan karib.
Akhirnya, kami berjalan menyusuri pematang sawah. Beberapa pak tani ada yang mengenali kami sebagai para pencari madu. Kami berhenti sebentar dan berbincang dengan mereka. Mereka menuturkan bahwa kemarin lusa salah seorang warga yang sedang mencari kayu, menjadi korban sengatan odeng di hutan tersebut. Sehingga harus dilarikan ke puskesmas, dan sampai dirawat disana. Merekapun meminta agar lebah – lebah tersebut diusir saja dari tempatnya yang sekarang. Si buncis meng iyakan saja permintaan beberapa petani tersebut.
Setelah melewati hamparan padi, tibalah kami di tepian hutan. Si buncis menunjuk salah satu pohon besar yang menjulang tinggi di kejauhan. Katanya disanalah tempat odeng yang akan kita datangi.
Dengan bersusah payah, kami menerjang semak belukar serta mendaki punggung bukit, akhirnya sampai juga kami di bawah pohon besar tersebut. Dari bawah pohon terlihat sarang lebah, dengan entah berapa ribu lebah yang menutupi semua bagian sarang tersebut.
Kami hanya memeriksa saja. Selanjutnya kami menuju ke sarang yang kedua. Perjalanan diteruskan menyamping, memutari bukit. Semak belukar masih begitu rapat menutupi jalanan kami. Sesampainya di sarang yang kedua, kami juga hanya mengamati saja. Karena perlengkapan untuk mengambil sarang tersebut belumlah disiapkan.
Akhirnya si buncis mengajak kami naik ke puncak bukit. Saya tidak menyangka, perjalanan ini akan terasa berat, sehingga waktu berangkat saya tidak menyempatkan diri untuk sarapan. Selama ini saya hanya punya pengalaman dalam mengumpulkan madu dari Apis melifera saja. Baru kali ini saya melihat sendiri Apis dorsata. Perjalanan naik bukit ini cukup menguras energi saya. Bukit yang terjal, ditambah pula dengan semak – semak yang cukup lebat, benar – benar membuat nafas saya jadi ngos – ngosan. Setelah berjuang cukup keras, akhirnya sampailah kami di puncak bukit. Rasa lelah saya sedikit terobati oleh pemandangan dari puncak bukit. Namun, disisi lain ada perasaan miris juga, karena sebagian besar deretan perbukitan itu telah gundul.
Di puncak bukit ini saya kesusahan untuk mencari perlindungan dari sengatan matahari yang mulai panas, hanya hamparan alang – alang yang luas, diselingi beberapa pohon kaliandra. Akhirnya dibawah pohon kaliandra saya mendaratkan pantat yang sudah mulai terasa berat karena kelelahan. Panas dan dahaga sungguh terasa, karena saya tidak membawa bekal minuman apapun, sebuah kesalahan yang baru disadari, ketika haus sudah menyergap. Sama sekali saya tidak mengira bahwa madu odeng diperoleh dari tempat – tempat yang susah dijangkau.
Sementara anwar dan buncis sibuk mengumpulkan alang – alang kering maupun yang masih segar. Setalah mendapatkan alang – alang yang cukup, buncis mulai merangkai alang – alang itu. Mula – mula alang – alang yang sudah kering ditumpuk, dan diikatkan melingkar pada sebuah potongan dahan kaliandra. Setelah itu baru alang – alang yang masih hijau ditambahkan sebagai lapisan yang paling luar. Hal ini bertujuan untuk membuat asap yang digunakan untuk mengusir lebah.
Setelah menyiapkan semua perlengkapan, kami kembali menuruni bukit menuju tempat lebah pertama. Sesampainya dibawah pohon besar tempat sarang lebah odeng berada, buncis langsung memanjat naik keatas. Diatas pohon, pembuat asap dari alang – alang mulai dinyalakan. Asap putih tebal mulai terbentuk dan langsung membuyarkan kawanan lebah yang sedang berada disarang. Lebah – lebah itu langsung terbang ke berbagai penjuru. Suara dengungan ribuan lebah terdengar cukup mengerikan. Sayapun menelusup ke dalam rimbunan semak – semak. Karena beberapa lebah – lebah itu mulai turun ke dekat tanah. Aku diam terpaku tidak berani bergerak. Keinginanku untuk memotret proses pengambilan sarang lebah, kalah dengan nyali menghadapi lebah – lebah yang mengamuk. Untunglah pohon ini cukup tinggi, sehingga tidak banyak lebah yang turun dan terbang di sekitar tanah. Tak berselang lama buncis sudah turun dari atas pohon, dan bergegas meninggalkan lebah – lebah yang kebingungan mencari sarangnya yang telah diambil sebagian oleh buncis.
Di bawah pohon tempat sarang yang kedua, anwar sudah menyiapkan segala perlengkapan. Begitu sampai buncis langsung memanjat naik keatas. Bedanya disini mulai dari bawah dia sudah menyalakan pembuat asapnya, karena letak sarang yang tidak terlalu tinggi. Sementara di bawah saya bersama anwar, bersiap – siap melindungi diri dengan sisa pembuat asap dari tempat yang pertama tadi.
Benar saja, begitu buncis melabrak sarang odeng, lebah – lebah itu mengamuk ke segala penjuru. Suara dengungannya lagi – lagi membuat hati berasa tidak karuan. Untung asap tebal yang menyelimuti kami mengalihkan perhatian lebah – lebah itu sehingga menjauhi kami. Namun masih terlihat beberapa ekor yang merayap di atas tanah tempat kami duduk. Tiba – tiba dari atas buncis menjatuhkan sarang lebah – lebah itu tepat dihadapan kami. Terlihat sarang – sarang itu kosong tak berisi madu setetespun.
Akhirnya, kami pulang dengan perasaan kurang puas, karena perolehan hari itu sangat sedikit. Ditengah perjalanan di tepi hutan, kami istirahat sejenak sambil melihat hasil dari pohon yang pertama. Tampak potongan sarang tersebut tidak banyak mengandung madu.
Setelah beristirahat sejenak, kamipun memutuskan untuk mengakhiri pencarian madu hari itu. Kami kembali menyusuri area persawahan menuju ke kampung tempat menitipakan motor kami. Menyusuri jalanan kampung yang sempit, kami mulai meninggalkan kampung tersebut. Memasuki jalan yang agak besar, kami berpapasan dengan seseorang pengendara motor yang menghentikan kami. Dia memberikan informasi daerah tempat sarang lebah odeng. Katanya lokasinya cukup mudah dijangkau, karena berada di pinggir jalan beraspal. Akhirnya kamipun meluncur ke daerah tersebut berbekal informasi dari pengendara motor yang menghentikan kami.
Benar saja di tempat yang ditunjukkan pengendara motor tadi, kami menemukan sarang odeng yang cukup besar dan memang benar – benar di pinggir jalan beraspal yang menghubungkan kecamatan Pabuaran dengan kecamatan Sagaranten. Sarang tersebut sedikit terlindung oleh beberapa bambu yang ada di pinggir jalan.
Langsung saja anwar menyiapkan segala perlengkapannya, termasuk pembuat asap. Setelah semua siap, dia langsung memanjat pohon randu tempat sarang lebah. Sayapun mencari posisi agak menjauh, berada di pinggir jalan, untuk mencari tempat yang nyaman untuk memotret, karena di tempat ini tidaklah seperti di hutan tadi yang penuh dengan pohon – pohon besar dan semak belukar.
Anwar mulai beraksi memanjat pohon, dan mulai menyalakan smoker buatannya. Seperti di hutan tadi, lebah – lebah itu langsung berhamburan ke segala penjuru. Saya masih begitu tenang mengamati proses itu melalui viewfinder kamera saya. Namun saya lihat seekor odeng hinggap di lensa kamera. Saya langsung diam terpaku. Karena tak berapa lama seekor lagi hinggap di pipi kiriku. Kini suara dengungan lebah – lebah yang sedang marah itu mulai terdengar jelas di sekitarku, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Saya benar – benar tidak tahu harus bagaimana. Pikir saya jika saya lari, maka bisa dipastikan lebah – lebah itu bakalan mengejar saya, namun jika saya tidak segera lari kumpulan lebah yang mengerumuni saya semakin banyak saja.
Tiba – tiba dari kejauhan buncis meneriaki saya untuk cepat lari kearahnya. Baru saja mau bergerak, lebah yang berada di pipi kiri langsung tiba – tiba menancapkan sengatannya. Nyeri sungguh terasa. Akupun langsung lompat lari sekencang – kencangnya menuju arah si buncis, diikuti entah berapa ratus ekor odeng marah yang mengejar saya. Tiba – tiba saja buncis tidak terlihat lagi olehku, hanya suaranya saja yang terdengar untuk segera mendekat kearahnya. Kerumunan lebah disekitar kepalaku membuyarkan semua konsentrasi saya. Jaket yang saya kenakan langsung saya buat menutupi kepala. Sambil berlari sekencang – kencangnya saya berusaha mencari buncis. Sengatan demi sengatan saya rasakan di wajah dan tangan saya. Semakin kesetanan saya berlari, kini sudah tak tentu lagi arahnya. Saya hanya berpikir menjauh dari lebah – lebah pengejar saya ini.
Setiap kali saya berusaha untuk memasuki lahan kosong disamping kanan saya, selalu gagal, karena tanah disamping saya posisinya lebih tinggi dari jalan. Sedangkan disamping kiri merupakan turunan terjal. Masih saja berlari akhirnya saya menemukan tanah datar di samping kanan saya, langsung saja saya berguling – guling diatas alang – alang. Namun lebah – lebah itu benar – benar tak kenal kata menyerah dalam mngejar saya.
Untunglah si buncis segera datang membawa asap, yang membuat lebah – lebah itu pergi menjauh. Dalam kelelahan aku merasakan perih dan nyeri di wajah dan tanganku. Kudapati dua sengatan di pipi kiri, satu di bawah mata kanan, satu lagi di atas kelopak mata kanan, serta tiga sengatan di tangan kiri. Bayangan cerita warga desa yang disengat odeng dan harus dirawat, membayangiku.
Setelah Anwar beres mengambil madu, kamipun segera bergegas pulang. Di jalan saya tidak henti – henti berpikir, apakah harus langsung mencari pengobatan medis atau tidak. Feeling saya berkata bahwa saya akan baik – baik saja ternyata lebih kuat daripada kecemasan saya. Akhirnya kami langsung pulang dengan wajah puas, karena dari sarang terakhir kami mendapatkan cukup banyak madu. Namun, dalam hati kecil terasa kecut juga karena petualangan hari ini harus dibayar dengan lebam – lebam di wajahku…
wah,, khasiatnya tinggi tuh, tapi cara mendapatkannya juga bresiko tinggi juga. nice post.
sungguh perjuangan yg berat untuk mendapatkannya..
madu memang tiada duanya 🙂
hidup penuh perjuangan………
dapet berapa botol bang madunya..:)
cuman dapet dua botol…he he..
bang ane mau nanya dong bang,, si buncis dan si anwar usianya berapa yaa? terus lokasi jelasnya hutan ini dimana ya bang maksudnya alamatnya?
bang ane minta kontak ente dng bang,, nomer hp atau pin bbm ente bang,, ane mau riset tentang pemburu madu liar bang mau ane liput,, mohon balesannye yaa bang,, thanks bang