Pengantar
Mengungkap permasalahan kehidupan kraton tidak dapat dipisahkan dari permasalahan sumber legitimasi kekuasaan raja. Pembahasan tentang hal ini haruslah melihat wujud kekuasaan trdisional Jawa dengan sejumlah konsep yang ada dalam kekuasaan itu sendiri, sesuai dengan kebudayaan politik mereka. Konsep negara gung yang harus dilihat sebagai pusat kosmologis pemerintah, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan seorang raja terhadap para kerabat dan rakyatnya. Suatu cerminan hubungan patron client relationship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut manungaling kawula Gusti.
Pada masa pemerintahan raja-raja Jawa kuno, pendidikan humaniora mendapatkan tempat utama. Soal-soal kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional terbatas saja. Pendidikan tentang puisi merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh umum, lebih – lebih oleh kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat. Kesadaran mengenai makna penting kedudukan ilmu bahsa, sastra, sejarah antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan dan tata negara telah memberi inspirasi para pejabat kerajaan untuk mendirikan, mengembangkan, dan membantu proses pendidikan pada sat itu yang berwujud padepokan dan peguron. Kraton Mataram Kuno mengalami zaman keemasan pada masa pemerintahan Raja Balitung dimana saat itu raja menyelenggarakan pentas seni besar-besaran, dengan menampilkan pegelaran wayang. Raja Balitung sendiri aktif dalam berolah cipta karya yang berusaha mengembangkan kemajuan masyarakat. Hal ini merupakan prestasi sang raja yang bersedia menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual.
Pendiri Kerajaan Mataram Kuno adalah Samaratungga dari Dinasti Syailendra yang menganut agama Budha Mahayana. Karya monumental dari Raja Samaratungga adalah Candi Borobudur yang terletak di Magelang.
Menurut sejarahnya, pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Medang yaitu Prabu Dewata Cengkar adalah seorang raja yang selalu menindas dan rakyat hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan. Yang berhasil membebaskan penderitaan rakyat Medang adalah seorang Brahmana dari tanah Sabrang bernama Aji Saka yang akhirnya dinobatkan sebagai raja Medang yang kedua. Dimasa pemerintahannya itu, orang Jawa kemudian mengenal aksara Jawa. Dia berjasa dalam membebaskan buta aksara. Bahkan akhirnya pula orang Jawa sadar akan pentingnya pencatatan waktu, maka terbitlah kalender Saka. Raja Aji Saka digantikan oleh Raja Empu Sindok. Empu Sindok boleh dikatakan sebagai kakek moyang, cikal bakal para raja yang berkuasa di tanah Jawa terutama dari kerajaan Jawa Timur. Dari kerajaan Medang inilah kemudian muncul kerajaan Kahuripan, Daha, Jenggala, Singosari, dan Majapahit. Penerus kerajaan Medang setelah Empu Sindok berkuasa adalah Prabu Dharmawangsa Teguh. Kerajaan ini mengalami musibah besar pada tahun 1016 yang berupa serangan dari kerajaan Wora-Wari. Dalam serangan itu Raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa jatuh pralaya sampai gugur dan untuk sementara kekuasaan jatuh ketangan musuh.
Pengganti Prabu Dharmawangsa Teguh adalah Airlangga. Nama kerajaan Medang oleh Airlangga dirubah menjadi kerajaan Kahuripan. Raja Airlangga bertahta sekitar tahun 1019 sampai 1042. Menjelang mangkatnya, Raja Airlangga membagi kerajaan menjadi dua penghubung, yaitu Jenggala dan Kediri. Raja Airlangga digantikan oleh putranya, yaitu Prabu Samara Wijaya yang memerintah kerajaan Kahuripan sesuai dengan cita-cita luhur nenek moyangnya.
Dalam peta sejarah nasional, keberadaan kerajaan Kediri sangat populer dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sampai saat ini. Para raja Kediri bisa dikatakan memiliki keadaran sejarah yang cukup tinggi. Terbukti bahwa para raja tersebut mempunyai pujangga kraton yang diberi tugas menggubah kisah-kisah luhur berupa kitab-kitab yang digores diatas daun lontar. Dari tulisan daun lontar tersebut, informasi-informasi masa lalu bisa dikumpulkan dan disistematisasikan. Kitab tersebut hingga kini telah melewati lorong waktu hampir 10 abad, namun masih bisa kita jumpai. Raja Kediri yang paling terkenal adalah Prabu Jayabaya. Ramalan Prabu Jayabaya masih seringkali menjadi referensi bagi masyarakat awam dalam menanggapi fenomena kontemporer.
Kekuasaan kerajaan Kediri pindah ke Tumapel atau Singosari pada tahun 1222 Masehi. Kejatuhan kerajaan kediri ini diakibatkan oleh Raja Kertajaya yang bersikap sewenang-wenang terhadap para Brahmana. Ken Arok memanfaatkan konflik vertikal horizontal yang terjadi di kerajaan Kediri untuk memperkokoh kekuatan kerajaan Singosari. Para raja yang pernah memerintah di kerajaan Singosari yaitu, Ken Arok, Anusapati, Tohjaya, Wisnuwardhana, dan Kertanegara. Raja Kertanegara mempunyai menantu yang bernama Raden Wijaya yang kelak menjadi raja Majapahit yang pertama.
Sebagai Kerajaan yang besar dana terkenal, Majapahit tidak ketinggalan dalam hal dunia nonmaterial termasuk didalamanya kesusasteraan, kesenian, dan kebudayaan. Warisan spiritual dari Majapahit yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia sekarang yaitu kata mutiara Bhinneka Tunggal Ika, sebuah ungkapan luhur yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Demikian pula bendera dengan warna gula kelapa yang berarti merah putih simbol keberanian dan kesucian. Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Dipulau tersebut berdiri kerajaan-kerajaan yang masing-masing berdiri sendiri. Baru pada awal abad ke -13, muncullah ide untuk menyatukan negeri-negeri tersebut dalam satu negara yang besar dan berdaulat. Ide yang dikenal dnegan Sumpah Palapa tersebut muncul dari seorang Maha Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Akhirnya Gajah Mada sukses mewujudkan impiannya untuk menyatukan nusantara.
Tradisi sejarah Jawa memaparkan transmisi penyerahan kedaulatan yang dibuktikan oleh peristiwa supranatural dari Kerajaan Hindu-Budha yang terakhir, yakni Majapahit kepada kerajaan Islam yang pertama, yakni Demak. Demak berhasil menyusun kekuasaan yang solid, dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Sebelum mendirikan kerajaan Demak, Raden Patah terlebih dahulu membina basis pesantren. Perdaban Islam Jawa mulai berkembang lebih kokoh sejak berdirinya kerajaan Demak. Peradaban Hindu Jawa Kuno Majapahit dilanjutkan oleh peradaban Islam. Kerajaan Demak diperintah oleh para sultan yang didukung penuh oleh para wali. Ketika Raden Patah wafat pada tahun 1518 M, putranya yang bernama Pati Unus menggantikannya menjadi sultan dengan gelar Sultan Demak Syah Alam Akbar II. Ia memimpin Demak hanya 3 tahun karena meninggal pada tahun 1521. Pengganti Pati Unus adalah saudaranya yang bernama Pangeran Trenggana yang memerintah sampai tahun 1546.
Setelah wafatnya Sultan Trenggana, kekuasaan Demak bergeser ke Pajang dengan rajanya Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya, pengganti Sultan Hadiwijaya adalah Pangeran Benawa, yang kemudian menyerahkan tahtanya kepada kakaknya, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati.
Setelah Pajang mengalami masa surut kekuasaan, maka Mataram menjdi penggantinya dan Sutawijaya diangkat menjadi raja Mataram yang pertama bergelar Panembahan Senopati. Berlainan dnega raja-raja lainnya di kemudian hari, yang dikenal dnegan gelar Susuhunan atau Sultan, Senopati dikenal dnegan gelarnya yaitu Panembahan. Selain Panembahan Senopati, raja Mataram yang terkenal adalah Sultan Agung. Beliau sangat menentang praktek perdangan kongsi dangang VOC milik Belanda yang curang dan menindas rakyat pribumi. Konsep politiknya yaitu doktrin keagungbinataraan yang berarti bahwa kekuasaan raja Mataram harus merupakan ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi, dan tidak terbagi-bagi. Pada masa Amangkurat II, banyak terjadi huru-hara yang menyebabkan stabilitas kerajaan Mataram terganggu. Oleh karena itu Amangkurat II memindahkan ibukota Mataram ke daerah Kartasura. Kerajaan Mataram di Kartasura penuh dnegn konflik keras yang terjadi diantaran keluarga istana, sehingga pada masa pemerintahan Paku Buwana III, terjadi proses sejarah Palihan Negari yaitu pembagian kerajaan menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta.
Sejarah Raja-Raja Jawa membuktikan bahwa sejak dahulu bangsa kita mempunyai kebesaran dan kejayaan. Bangsa kita di kawasan Nusantara ini sudah ahli didalam mengelola negara, mengatur pemerintahan, terampil berorganisasi, mahir menjalankan roda birokrasi dan memberdayakan kemakmuran rakyat.
Disamping cakap dalam bidang politik kenegaraan, para raja tersebut juga sangat memperhatikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bidang seni, budaya, sastra, bahasa, filsafat, dan agama mendapat tempat yang terhormat. Segala macam daya dan dana dikerahkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat umum.
Sumber: The History of Javanese Kings oleh Dr. Purwadi M. Hum diterbitakan oleh Ragam Media, Yogyakrta, 2010.
1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.