Prolog
Setiap orang Jawa, apalagi priyayi Jawa akan terpanggil untuk mengejar kesempurnaan dirinya. Hal itu dilakukan untuk memenuhi martabatnya selaku manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Jalan yang ditempuh pun tergantung pada gambaran tentang dirinya dan tentang kesempurnaan yang ingin dicapainya.
Untuk mencapai kesempurnaan yang dimaksud, manusia Jawa akan menyelaraskan yang lahir dan yang batin, kepentingan dunia dan kepentingan akhiratnya. Mengatur yang lahir dengan melakukan tatakrama dan etiket yang mengarah pada etika. Sedang mengatur yang batin dengan mengendalikan “angkara”, egoisme, dan hawa nafsu yang bercokol dalam diri manusia, yang merupakan penghalang jalan ke arah kesempurnaan. Upaya tersebut merupakan “laku”, suatu tindakan yang harus dilaksanakan untuk mencapai hakikat batin “ngelmu”, kesempurnaan, dan pengertian akan hakikat hidup. Puncak kesempurnaan ialah bersatu dengan Tuhan, manunggaling kawula gusti, sesudah lepas dari hawa nafsu dan tak ragu lagi dengan percampuran suksma.
Sesuatu yang lahir harus diatur dengan tatakrama, karena yang lahir merupakan cermin keadaan yang batin. Dan dari perbuatan dan perkataan akan tercermin keadaan jiwa yang bersangkutan, baik yang baik maupun yang jelek. Untuk itulah, dalam pergaulan orang harus tahu “semu”, tahu “rasa”, isyarat, alamat, yang tersirat dalam tingkah laku orang lain, tenggang rasa, hati – hati, hingga tidak memberi kesan jelek atau melukai hati orang lain.
Orang yang tidak mengatur yang batin akan terlihat pada sikap – sikapnya, antara lain : tak terkendali kata – katanya, apabila berbicara seenaknya sendiri, tidak mau dikatakan bodoh, selalu mencari pujian orang lain, dan tak mau kalah alias mau menang sendiri.
Sedangkan yang batin diupayakan kesempurnaannya dengan menguasai yang lahir, yakni dengan berpuasa (mencegah makan dan tidur), menyepi, membersihkan hati untuk mencapai keheningan hati dan pikiran karena hanya didalam keheningan hatilah orang akan menyatu dengan Tuhan. Sikap – sikap yang menyertai “laku” itu adalah merasa “ikhlas apabila kehilangan”, “tidak marah kalau disakiti orang lain”, dan “menyesali kesalahan, murah hati dan senantiasa pasrah kepada Tuhan”.
Sementara kesempurnaan manusia diukur dari jauh dan dekatnya dengan sesama dan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia harus tahu agama, cara bertindak terhadap sesama dan terhadap Tuhan, pendeknya harus mengusahakan damai dengan sesama dan Tuhan.
Begitulah, serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV (1811-1881) yang merupakan salah satu kitab pegangan bagi orang Jawa. Apalagi kitab yang memuat ageming aji priyayi Jawi ini membicarakan tentang manusia, cita – citanya, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan Tuhan dalam upaya mencapai kesempurnaan tertinggi selaku manusia.
Wedhatama berarti “Pelajaran Utama”. Sebuah buku berbahasa Jawa dengan tembang – tembang beraneka lagu ini mengandung ajaran yang sangat bagus, menyangkut tingkah laku lahir maupun batin. Meskipun demikian, isi yang terkandung dalam buku ini juga sangat baik dan bermanfaat bagi mereka yang tidak mengerti bahasa Jawa. Itulah sebabnya tulisan ini menyajikan terjemahan teks Indonesianya, agar isinya bermanfaat bagi kalangan seluas mungkin.
Adapun pokok isi ajaran “Wedhatama” pada intinya dibagi menjadi 4, yakni :
- Pelajaran etika, perbuatan baik dan tidak baik yang ditulis dalam tembang pangkur.
- Pelajaran tentang Hukum Sebab dan Akibat, ditulis dalam tembang Sinom.
- Pelajaran ilmu dan amal (ilmu itu harus dapat dilaksanakan) yang ditulis dalam tembang Pucung, dan
- Pelajaran tentang manembah (menghadap kepada Yang Maha Esa) yang ditulis dalam tembang gambuh.
Ajaran – ajaran tersebut mengarah kepada kesempurnaan manusia dalam upayanya menuju kepada Tuhan, kepada “Penciptanya”. Agar dapat “sampai ke sana”, maka manusia perlu melatih diri, lahir dan batin, dalam kehidupan sehari – hari. Latihan tingkah laku baik, latihan berpikir, dan seterusnya, akan membentuk pribadi – pribadi yang semakin lama semakin kuat, untuk dapat menerima “isi” yang lebih mantap.
Dalam ajaran yang meyangkut etika misalnya, meskipun ada hal – hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan zaman, namun apabila dirasakan akan dapat dimengerti, bahwa sikap dan tingkah laku yang dibiasakan “baik” itu besar pengaruhnya terhadap kemajuan jiwa.
Yang kedua, yang berisi uraian mengenai sebab dan akibat, tidak dititikberatkan pada keterangan tandas, sebagai hukum kausal dalam ilmu, namun diterangkan hal – hal yang praktis saja, bahwa manusia itu akan memtik buah dari perbuatannya sendiri. Manusia harus melakukan kewajiban untuk lahir dan untuk batin. Hal – hal yang lahir itu misalnya, mencari penghidupan, kepandaian, dan kedudukan. Sedangkan untuk yang batin dengan menambah pengertian dan ilmu. Namun demikian, ajaran – ajaran tersebut harus dijalankan dan diamalkan. Sedangkan ajaran yang terakhir merupakan klimaksnya, yakni cara – cara untuk menyempurnakan jiwa menuju kepada penyembahan yang sempurna kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran yang terakhir ini, sangat menonjol. Ajaran penyembahan atau sembah terbagi menjadi empat, yaitu sembah raga (badaniyah), sembah cipta (pikiran), sembah jiwa dan sembah rasa. Pada bait kedua tembang Gambuh, misalnya, berbunyi :
Sembah raga puniku,
Pakartine wong amagang laku,
Sesucine asarana saking warih,
Kang wus lumrah limang waktu,
Wantu wataking wewaton
Pokok ajaran ini adalah, bahwa sembah raga merupakan pendahuluan dari laku – laku selanjutnya. Hal ini dijalankan dengan tindakan badaniah. Yakni badan harus bersih. Dan bersihnya badan dengan air. Badan harus sehat. Karena didalam badan yang sehat terkandung pikiran – pikiran yang sehat. Badan harus tunduk pada kemauan pikir, bukan sebaliknya, pikir hanya menuruti kemauan raga, misalnya malas, kotor dan sebagainya. Menyembah dangan raga biasanya dilakukan dengan shalat lima waktu.
Ajaran kedua mengenai sembah cipta atau sembah kalbu, atau sembah pikir, bahwa pikir harus dituntun ke jalan keselamatan atau kebahagiaan. Cipta dituntun untuk mencari inti rasa dari hidup ini. Dan hawa nafsu harus dikendalikan, jangan dilepaskan hingga menjadi liar. Berbeda dengan yang pertama, maka bersih pikiran bukan dengan air melainkan mengurangi hawa nafsu atau pikiran kotor. Dan harus dimulai dengan hidup teratur dan hati – hati, juga senantiasa waspada.
Laku demikian bisa gagal apabila orang mengumbar hawa nafsu, sombong dan mengharap – harap hadiah dari Tuhan. Gambaran halusinasi seringkali dikira wahyu dari Tuhan. Padahal bukan, melaikan hanya gambaran dari pikiran sendiri.
Sedangkan ajaran ketiga, yakni sembah jiwa adalah sembah kepada Tuhan. Pelaksanaan dari sembah ini, manusia harus dapat menyatukan diri antara makrokosmos (jagad besar) dengan mikrokosmos (jagad kecil). Selanjutnya “Aku”-mu lepas dari kedua jagad yang sudah melebur tersebut, untuk masuk kealam yang lain.
Ruktine ngangkah ngukut
Ngiket ngruket triloka kakukut
Jagad agung ginulung lan jagad alit
Den kandel kumandel kulup
Mring kelaping alam kono
Sementara ajaran keempat, yaitu sembah rasa, adalah leburnya rasa pribadi dengan rasa semesta alam. Untuk sampai kesana, hanya tekad sentosa saja yang bisa. Dan hanya orang yang sudah tidak mempunyai rasa takut, dan percaya kepada takdir Allah serta berani menempuh kesengsaraan sajalah yang akan kuat menerima ilmu ini.
Demikianlah secara sekilas pembahasan tentang serat Wedhatama sekedar sebagai pengantar.
kirain pake basa jawa
rahayu, pangapunten tasih wonten sembayang ingkang anggiring manungso mring kasampurnan ateges SEMBAHYANG PATRAP kang sampurna sak inggile makrifat ananging jarang manungso mangerteni yen jatining patrap puniko ingkang dipun cepeng kanjeng sunan kalijogo ugi syeh siti jenar kang sami ngudi babakan jawi, mulo poro wali sanes mboten saget ngimbangi bobot lan dedeke linuwing pawongan wali kalih ingkang sesebutan dimas lemah abang lan kalijogo.
ajaran tertinggi yang tidak tercatat diserat wreda tama adalah sembahyang sukmo.
yang akan menghadap Tuhan pada unsur manusia saat mati adalah sukmanya maka sembahyang yang tertinggi yang langsung arahnya berkomunikasi langsung dengan Tuhan adalah sukmanya, mengapa manusia di dunia ini tidak bisa langsung berkomunikasi dengan Tuhan karena sukmo mereka tidak dibiasakan berkomunikasi dengan Tuhan, mereka hanya melakukan komunikasi dengan bahasa dan kode kode tubuh, sperti raga,cipto,jiwo lan rasa tetapi jangan meninggalkan sukmo. maka dikitap kasampurnan kapribaden disebut sembayang ponco gaib 5 unsur sholat yang menjadikan manusia sempurna dihadapan Tuhan sembahyang 1. raga 2.cipto 3.jiwo 4. rasa 5. sukmo
rahayu 3 x
matur nuwun tambahanipun eyang jati…
nuwun sewu, nyuwun pitedahipun, napa ingkang mbentenaken antaranipun jiwa lan sukma?
serat wedhatama bner ta slah sji bab nang serat centini..kry ki amongprogo ato giri prapen…!bner kang syeh sidi jenar tgkat mhabah pling inggil…tp d lihat dr kmentar2 klyn b2,adkah yg sdh mncpai tgktan sprti… mnurutku krg pnter kalo hal2 smcam ini d publikasikan scr luas…biso2 njluntrungno kang krg pahan..pa g lbih baek di share scr pribada.. antar email misale..
@ prabu aji kalimosodo
Menawi serat wedhatama menika anggitanipun KGPAA Mangkunegara IV (1811 – 1881). sanes bagianipun serat centhini….
makrifat adalah sebuah rahasia antara makhluk dan Tuhannya….memang benar untuk suatu pencapaian makrifat tidak bisa di bagi begitu saja dengan orang lain, disini saya hanya menuliskan apa yang menjadi prolog dari serat wedhatama, yang sering disebut sebagai Ageming Aji Priyayi Jawi, Pegangan hidup orang Jawa..agar sebagai generasi penerus kita bisa melestarikan nilai2 yang terkandung didalamnya, tanpa bermaksud merusak tatanan nilai syariat maupun akidah tertentu. Nuwun.