Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka (1)

Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka

Doktor Tanpa Ijazah Sekolah Dasar

Banyak orang bertanya, “Dimanakah mahaguru Jawa Kuno dan Sansekerta yang selalu pakai kain, baju beskap dan ikat kepala solo itu? Dimanakah Prof. Dr. Poerbatjaraka?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencari Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka dan menemukannya di sebuah rumah berlampu teplok (minyak tanah) di Kampung Kawi Dalam, kira-kira 2 km dari jalan besar.

Putra Indonesia kedua yang memperoleh gelar doktor di Universitas Leiden tahun 1926 itu saya jumpai sedang berbaring di dua kursi yang disatukan. Ketuaan telah menguasai tubuhnya. Tetapi usia 80 tahun terbukti belum berhasil mematahkan vitalitas rohani  Pak Poerba.

“Di sini Pak?” tegur saya.

Kontan dijawab dengan suaranya yang lantang dan tajam, “Habis mau apa? Sudah begini?”

Setumpukan buku terletak diatas meja tanpa pelitur. Tanpa kacamata ia masih dapat membaca judul Majalah Intisari  dan dia memang masih rajin membaca, membuat karangan untuk Majalah Bahasa dan Budaya serta sekali seminggu pada setiap Rabu, turun dari pertapaannya, untuk memberikan bimbingan kepada para mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang sedang mempersiapkan disertasi.

Terpengaruh oleh keadaan di sekelilingnya, saya tak kuasa menahan pertanyaan, “Apakah Pak Poerba menyesali hidup ini?”

Mendadak dia bangkit, duduk, dan membentak tegas, “Sesal?Oh, sama sekali tidak. Ik heb geen spijt van mijn leven (saya tidak menyesali hidup saya). Saya rela mati, sekarang juga.”

Mengapa tiada penyesalan sedikitpun?

“Lho, mengapa? Aku iki bocah kampung, bergajul Solo bisa jadi kaya ngene. Apa ana to? (Saya ini hanya anak kampung, bregajul Solo dapat mencapai begini. Apa ada lainnya?)” Sambungnya lagi, “Dalam karier saya sebagai seorang sarjana, saya telah dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat. Yaitu dapat memahami hal – hal yang yang oleh orang lain tidak dapat dimengerti.”

Jika dewasa ini dapat menikmati Sendratari Ramayana, membaca Ramayana, Arjunawiwaha, Dewa Ruci, Smaradahana, Nitisastra dan warisan kekayaan Sastra Indonesia dari Jawa yang begitu melimpah, itu sebagian besar berkat jasa penelitian dan terjemahan Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatajraka.

Lesija Poerbatjaraka adalah anak nomor dua Raden Mas Tumenggung Poerbadipoera, Bupati Anom Kasunanan Surakarta. Hubungan antara Bupati Anom dengan Sunan Paku Buwono X baik sekali, karena sejak bayi, sunan ini diasuh oleh Tumenggung Poerbadipoera. Pendidikan tari-nyanyi-sastra diberikan oleh Bupati Anom tersebut.

Ketika para putra sunan masuk sekolah dasar, Lesija dan saudaranya diminta menemani, agar “jangan dikurangajari oleh sinyo-sinyo”. Salah seorang putra Sunan PB X, Antasena, kemudian menggantikan ayahnya sebagai Paku Buwono XI.

Lesija mengikuti pelajaran, sekali pun tidak pernah terdaftar sebagai murid resmi. Dasar pintar lagi tekun belajar, dia sendiri berhasil sampai kelas 6. Yang laingagal dijalan. Di kelas tersebut, Lesija dikeluarkan. Alasannya “sudah terlalu tua.”

Namun sebab yang sebenarnya menurut Pak Lesija Kodrat Porbapangrawit, karena “….terlalu pintar. Belanda khawatir, jangan – jangan nanti dapat melanjutkan ke HBS.”

Untuk mempraktekkan bahasa Belanda, Lesija sering mengajak bicara para prajurit Belanda yang berjaga di depan Kraton Kasunanan. Kemahirannya dalam bahsa juga diakui oleh Rademaker, arsitek kepala di keraton. “Kalau mau mencari orang Solo yang pandai berbahasa Belanda, carilah Porbatjaraka.”

Lesija tidak merasa puas. Ia ingin belajar terus. Kebetulan ayahnya mempunyai kumpulan buku-buku kesusasteraan Jawa empat almari lebih. Maklum, dia menjadi pengasuh Sunan. Buku – buku tersebut dibaca oleh Lesija. Sukar, karena bahsanya Jawa Kuno. Ia bertanya kepada ibunya, Mas Ajeng Semu alias Raden Rara Samsirah, seorang wanita kampung yang suka membaca buku-buku Sasana Sunu, Anglingdarma, dan lain-lain.

Buku Ramayana mulai dibuka – buka oleh Lesija. Jika ceritanya “buntu”, karena ada kalimat yang tak dimengerti, maka berlarilah dia kepada ibunya, “Bu, Bu, waktu Anoman di Taman Soka, apa yang dikerjakan?” Keterangan ibunya dicocokkan dengan buku dan jalan lagilah ceriteranya.

Baik keterangan ayah mau pun ibunya belum bisa memeuaskan hatinya. Lesija ingin belajar Jawa Kuno dan Sansekerta supaya bisa lebih paham. Sastrawan-sastrawan Solo didatangi, tidak berhasil. Akhirnya dia menghadap Residen, mengungkapkan maksud hatinya. Ia mendapat jawaban, “Yang ada di Batavia, Prof. Dr. N.J. Krom.”

Kesempatan itu masih harus menunggu.  Sementara itu Sunan bekenan mengangkat Lesija menjadi priyayi. Ada lowongan untuk pemukul gamelan. Ia turut ujian dan lulus. Lalu ditetapkan menjadi Kepala Jaga dengan gelar Raden Lurah Atmopradangga.

Jabatan itu tidak lama dipangkunya. Menurut Pak Poerba, “Tentu saja Sunan khawatir, pemuda tampan dekat dayang-dayang. Bisa berbahaya.” Ia dipindahkan, menjadi Mantri Anom Poerbatjaraka. Tugasnya, “Opzichter van de hoge bomen langs de grote wegen dari sebagian Keraton Kasunanan. Mandor jalan, mengawasi penebangan pohon-pohon yang terlalu tinggi, menjaga got-got jangan sampai macet.” Pekerjaannya tidak begitu banyak. Waktu luang digunakan untuk berburu di desa dan bersampan di sungai.

Pada tahun 1913 dibuka sekolah menengah MULO. Lesija gelisah, tiga tahun lagi sudah akan banyak orang pandai. Untung dia berhasil pergi ke Jakarta, belajar pada Prof. Dr. N.J. Krom dalam mata pelajaran Jawa Kuno dan Sansekerta. Sayang tidak berlangsung lama, karena mahguru tersebut cuti ke Eropa, Poerbatjaraka harus kembali lagi ke Solo.

“Tatkala saya menggelepar dalam lumpur penghinaan di Solo dan mengcungkan tangan minta pertolongan, maka Tuanlah yang menyambut dan menolong saya,” demikian pernyataan terimakasih Dr. Poerbatjaraka kepada Prof. Dr. G.A.J. Hazeu pada pengantar disertasinya, Agatsya in den Archipel.

Duduk perkaranya sebagai berikut. Ketika Poerbatjaraka akan berangkat ke Jakarta untuk pertama kalinya, ada saingan pengalang. Saingannya kalah karena tak paham bahasa Belanda, lagi pula sudah lanjut usia. Pengalangnya adalah beberapa ahli sastra Jawa yang takut disaingi oleh pemuda tekun dan berani tersebut. Mereka iri hati.

Iri hati ini meluas setibanya kembali Poerbatjaraka dari Jakarta dengan pengetahuan bahsa Jawa Kuno dan Sansekerta yang tidak ada bandingannya. Poerbatjaraka malah dicap sebagai, “anak muda yang merasa dirinya sok pandai, padahal sebenarnya agak miring otaknya”. Bahkan dalam Majalah Taman Pawarta disebutkan terang-terangan “Poerbatjaraka edan, Poerbatjaraka gila”.

Menghadapi tantangan tersebut, Pak Poerba tidak gentar. Mulai saat itu perilaku dan tutur bahasanya diatur benar. Kepandaiannya dalam Jawa Kuno dan Sansekerta makin diketahui orang banyak. Guru-guru solo beramai – ramai minta diajar oleh Pak Poerba. Mula-mula pelajran diberikan dalam ruangan museum, tempat Pak Poerba bekerja. Lawan-lawannya berhasil mengalangi dengan dalih: “Museum bukan tempat mengajar.” Maka pindahlah mereka ke Taman Sriwedari.

Pak Poerba mengajar guru-guru itu dibawah pohon cemara, mirip Rabindranath Tagore yang memberi kuliah kepada para mahasiswa dibawah langit terbuka di Universitas Santiniketan di India.

Sastrawan-sastrawan Solo tersinggung, oleh karena terjemahan mereka dikritik Pak Poerba. Dicocokkan dengan asal katanya dalam bahasa Snsekerta, terbukti banyak kesalahannya. Satu diantaranya sekitar makna Sito Danujo. Para bangsawan Solo membentuk sebuah perkumpulan, diberi nama Sito Danujo, karena menurut kamus Kawi-Winter, kata-kata itu berarti “ Ksatria yang terkemuka”.

Orang bertanya kepada Pak Poerba, benarkah arti kata tersebut?

Berdasarkan asal katanya dalam bahasa Sansekerta, interpretasi Winter terbukti keliru. Bukan ksatria terkemuka, melainkan berarti, “Raksasa Kedinginan”.

Arti yang diberikan oleh Pak Poerba tentu saja menggemparkan organisasi bentukan para bangsawan tersebut, sebab namanya bermakna “ Raksasa Kedinginan”. Apa tumon? Bagaimana mungkin?

Polemik sengit terjadi melalui Majalah Sedyatama.

Sekali waktu Pak Poerba jatuh sakit. Sakit keras, sehingga terpaksa memanggil Dr. Soetomo. Pak Dokter tercengang mendapatkan pemuda Solo berbaring sakit diantara buku-buku kesusasteraan Jawa Kuno yang berserak-serak. “Bagaimana mungkin, seorang pemuda Solo mau tidur bersama buku-buku?”

Pertemuan tersebut merupakan hiburan bagi Pak Poerba yang terus menerus diperolokkan sebagai “muda-muda sok pintar, muda-muda sudah gila”. Sejak itu oleh Dr. Soetomo, Pak Poerba dimintai tolong untuk menerjemahkan istilah-istilah teosofi ke dalam bahasa Jawa Kuno yang tepat.

Pernah juga Pak Poerba jagong, memenuhi undangan sunatan. Yang disunat kakak-beradik yang kemudian dikenal sebagai Mr. Soesanto Tirtopradja dan Mr. Wijana Pradjadikara. Pesta meriah oleh karena orang tua mereka memang kaya. Pak Poerba sengaja atang dengan kepala gundul memakai topi model kuluk (mahkota) sehingga seluruh undangan terheran-heran.

Tetapi Pak Poerba tidak ambil pusing.

Dari sejak mudanya dia berani dan selalu berterus terang. Tidak peduli reaksi dan pandangan orang lain. Tidak mengherankan sering menimbulkan lawan, juga kemudian dikalangan sarjana-sarjana Belanda dan Indonesia.

Dalam keadaan itulah, Prof. G.A.J. Hazeu, Penasehat Soal-soal Hindia Belanda, datang ke Solo. Pak Poerba memberi terjemahan sebuah buku Jawa Kuno yang terbukti belum pernah diterjemahkan sebelumnya.

Prof. Hazeu heran, rupanya inilah satu-satunya orang Indonesia yang masih paham bahasa Jawa Kuno.

Pak Poerba ditanya, “Bersediakah kamu bekerja di museum pemerintah Belanda dan berapa gaji yang kamu minta?” Kesempatan tersebut tidak disia-siakan.

“Di Solo saya tinggal bersama orang tua, gaji f 70 sebagai pegawai museum keraton sudah cukup, karena dokter dan apotek gratis. Kalau di Jakarta, saya dapat menerima f 175, baiklah …”

Pada awalnya Sunan P.B. X tidak mengizinkannya pindah ke Jakarta, “Piye Buto Kademen? Tak sekolahke ngaya-aya, mbasa pinter njur lunga. Bagaimana Raksasa Kedinginan? Engkau saya sekolahkan, sekarang suah pandai, malah mau pergi.” Berkat perantaraan Residen Helpke akhirnya Sunan meluluskan, karena “… di Solo, pengetahuannya takkan tambah.”

Di Museum Jakarta, Pak Poerba bekerja sama dengan Dr. N.J. Krom dan Dr. P. Van Stein Callenfels. Ia sering dijak berkeliling menyelidiki candi dan prasasti. “Apa yang tak dapat mereka ketahui saya bisa mengartikannya.” Karena itu kedua sarjana tersebut senang bekerja sama dengan Pak Poerba. Disamping memperdalam bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta, Pak Poerba juga mempelajari bahasa-bahasa Inggris, Perancis dan Jerman sehingga akhirnya dapat menguasai semuanya dengan baik.

Sementara itu karangannya terus mengalir diantaranya tentang “De dood van Raden Widjaja, 1ste Koning en stichter van Majapahit” (Kematian Raden Widjaja, raja pertama dan pendiri Majapahit) yang dimuat dalam majalah ilmiah Bataviaansche Genootschap tahun 1914. Karangan tersebut sampai di tangan Prof. Dr. H. Kern, dewa sastra kuno dan bahasa Sansekerta tersebut kagum sekali membaca karangan Pak Poerba dan menyatakan tiada kesalahan sedikitpun di dalamnya.

Ada 13 karangan ilmiah lagi yang ditulisnya sebelum keberangkatannya ke Leiden untuk melanjutkan studi pada tahun 1921. Semula didasas-desuskan, Universitas Leiden bersedia memberikan gelar doktor honoris causa.

Akhirnya diputuskan kepada Pak Poerba diberikan beasiswa Yayasan Kern untuk studi ke Leiden dan membantu mengajar bahasa Jawa Kuno dan Ilmu Purbakala sebagai Asisten. Dalam waktu kurang dari empat tahun, pemuda Solo tersebut berhasil mencapai gelar doktor dalam sastra timur dan filsafat.

Ia merupakan orang Indonesia kedua yang memperoleh gelar tersebut. Yang pertama Prof. Dr. R.A. Husein Djajadiningrat.

Kepada Prof. Dr. N.J. Krom yang membimbingnya dalam bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta, dia menyatakan dalam kata pengantar disertasinya, “Gij hebt mij tot een waarding mens gemaakt”, Tuan telah membuat saya menjadi manusia yang bermartabat.

“Sayang ketika kembali ke Tanah Air, orang yang dulu mengalangi saya dulu sudah meninggal,” komentar Prof. Dr. Poerbatjaraka.

Sekembalinya ke Tanah Air, tahun 1926 Dr. Poerbatjaraka ditempatkan lagi di Museum Jakarta. Sebenarnya dia ingin mengajar pada AMS Surakarta tetapi tidak diberi kesempatan. Kemudian ketika fakultas sastra dibuka, kesempatan tersebut tetap tertutup baginya.

“Mereka sengaja menyimpan saya di museum. Tak membiarkan saya mengembangkan kemampuan saya dengan mengajar. Dasar Belanda,” gerutunya kecewa.

Keluhan tersebut dibenarkan oleh mereka yang tahu duduk persoalannya. Pak Poerba yang berani berterus terang memang banyak lawannya. Kritik-kritiknya terhadap karya Prof. Dr. H. Kern, junjungan sarjana-sarjana Belanda, kurang menyenangkan hati mereka.

Kalau baru menemukan sesuatu yang terbukti menyalahkan pendapat sarjana-sarjana Belanda, Pak Poerba sering berkata dengan suara keras, “Belanda saja, mau coba-coba meneliti sejarah Indonesia.” Kata-kata seperti itu tentu tak luput dari tangkapan rekan-rekannya, bangsa Belanda di museum.

Tetapi Pak Poerba tidak pernah ambil pusing. Ia tekun menyelidiki buku-buku dan prasasti kuno dan hasil karyanya terus terbit berupa tulisn dalam majalah ilmiah atau berupa buku-buku. Tidak kurang dari 50 buah karya ilmiah Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka berada dalam perpustakaan Museum Jakarta.

(bersambung…)

2 respons untuk ‘Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka (1)

  1. awanz berkata:

    ass.wr.wb. saya salah satu cicit dari PROF. DR. R.M. NG. POERBATJARAKA, ingin menggali lebih banyak hal mengenai kakek buyut saya. saya juga banyak menyimpan dokumen2x dan buku2x warisan yang jatuh ke tangan saya salah satunya sebagai cicit dari BELIAU.
    siapa saja yang membutuhkan dan ingin bertukar informasi mengenai kakek buyut saya. saya persilahkan e-mail ke saya. terima kasih. wassalam.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s